Setelah dua tahun tidak berlebaran di rumah Surabaya, lebaran 1428 H kemarin kami, terutama saya akhirnya bisa berlebaran kembali di surabaya. Untuk pertama kalinya juga mbah uti dan mbah kung bisa ketemu dengan rafi.
Ya mungkin biasa saja kalo lebaran kita mesti pulang, ya Pulang di kota dimana kita di lahirkan. Sejak menikah kami sepakat untuk lebaran kita bergilir pulang, lebaran ini di surabaya berarti lebaran berikutnya ke palembang ke rumah istriku.
Setiap mendengar kata pulang ada sedikit semangat beda yang kami rasakan walaupun sering ada satu perasaan yang berbeda ketika kita pulang ke rumah kembali. ya perasaan rindu atas nostalgia-nostalgia indah dan jenaka semasa kecil. bertemu teman lama keluarga dan saudara-saudara.
Setiap menyusuri jalan pulang selalu ingatan saya kembali berputar ke masa-masa lalu, masa-masa dimana saya mulai berani untuk mengambil keputusan untuk merantau. Pergi tanpa tahu alamat jelas yang di tuju, tidak tahu akan menginap dimana. Masih jelas teringat saya bersama 2 teman saya nekat menuju makassar dengan bekal surat penempatan OJT dimana disitu jelas2 kita tidak tahu alamat perusahaan yang kita tuju. Kita masih saja tetap nekat berangkat. Dan seperti yang kami kira sebelumnya setiba di makassar kami benar-benar harus berjuang sendiri semuanya.
Hidup memang masalah pilihan dan kita harus juga menerima segala konsekuensi dari pilihan kita. Saya tidak pernah menyesal sudah pergi jauh merantau. Tapi ketika pulang dan melihat mbah kung dan mbah utinya rafi bertambah banyak uban dan guratan-guratan keriput di wajahnya, mau tak mau menyadarkan saya, bagai manapun ada rasa bersalah dalam diri saya bukan menyesal atas keputusan saya pergi merantau tapi menyesal atas sedikitnya waktu yang bisa saya habiskan bersama mereka. Dan rasa untuk segera kembali pulang itu terus ada untuk selalu bisa menemani mereka.
Di mudik labaran ini, semangat untuk pulang ini kembali lagi menyala-nyala, saya bener-bener merindukan sebuah rumah yang selalu menghadirkan nostalgia-nostalgia indah, rumah yang bener-bener bisa saya sebut rumah yang selalu menghadirkan kehangatan keluarga. Bertemu kembali dengan banyak saudara dan keluarga. Dan yang pasti saya bisa bersama dengan anak dan istri saya untuk waktu lumayan lama. Cuti bersama ini menambah arti besar bagi kami yang perantauan ini untuk bisa menikmati kembali arti hangatnya sebuah rumah. Sebelum kami harus kembali mengemasi semuanya untuk kembali menjalani rutinitas kembali di perantauan kami. Dan seperti biasa juga kami berjanji akan segera pulang kembali.
Rumah bagi kami adalah tempat dimana hati kami berada. Tempat yang selalu ada juga di hati kami yang selalu memanggil kami untuk pulang.
Meskiku terbang jauh...
Melintasi sang waktu..
Kemanapun angin berhembus...
Aku pasti akan kembali...